Page Nav

HIDE

Post/Page

Weather Location

News:

latest

Perusahaan Asal Malaysia Menggusur Pemukiman Warga Suku Dalam

Sejak tanggal 7 Desember lalu, PT. Asiatic Persada (anak perusahaan Wilmar Grup asal Malaysia) terus mengusir paksa warga Suku Anak Dalam di tiga kampung di Jambi, yakni Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang.

Menurut Dama…

Sejak tanggal 7 Desember lalu, PT. Asiatic Persada (anak perusahaan Wilmar Grup asal Malaysia) terus mengusir paksa warga Suku Anak Dalam di tiga kampung di Jambi, yakni Padang Salak, Pinang Tinggi, dan Tanah Menang.

Menurut Damayanti, salah seorang warga SAD di Pinang Tinggi, proses pengusiran paksa itu diwarnai dengan penghancuran pemukiman warga, penghancuran rumah-rumah warga, perampasan harta benda, dan ancaman pembunuhan.
“Kami diancam mau dibunuh kalau tidak tinggal kampung. Mereka mencincang-cincang ternak kami, lantas mereka bilang, kalau berani melawan akan dibegitukan,” ungkap Damayanti.

Karena diancam mau dibunuh, kata Damayanti, warga pun tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya menangis histeris ketika rumah mereka diratakan dengan tanah. Tak hanya itu, ternak warga dibantai dengan rentetan tembakan oleh TNI dan Brimob.

Ironisnya lagi, ungkap Damayanti, para penggusur yang terdiri dari TNI, Brimob, dan security PT. Asiatic merampas harta benda milik warga SAD, seperti ponsel, beras, dompet, tabungan, ayam, kambing, dan ternak lainnya.

Damayanti juga mengungkapkan, karena harta benda warga dijarah, banyak warga SAD yang belum makan sejak penggusuran dimulai. “Kami kelaparan karena harta benda kami habis. Tidak ada lagi uang untuk membeli kebutuhan hidup. Ternak-ternak kami dirampas atau dibantai,” ungkapnya.

Hal senada juga diungkapkan Yelbi, warga SAD dari dusun Pinang Tinggi. Menurut Yelbi, ketika penggusuran berlangsung, warga tidak diberi kesempatan menyelamatkan harta bendanya. Malahan, kata dia, security PT. Asiatic begitu leluasa menjarah harta benda milik warga.

“Uang saya di dalam rumah tersimpan di dalam tas sebanyak Rp 2,5 juta juga diambil. Ketika saya minta uang saya, mereka (security PT. Asiatic) meletakkan samurai di batang leher saya,” katanya.

Lebih parah lagi, kata Welby, tanaman-tanaman peliharaan warga juga turut dibabat dengan parang oleh security PT. Asiatic. “tanaman seperti ubi, cabai, pohong pisang, Labu, tomat, dan lain-lain habis semua ditebas oleh mereka,” ungkapnya.

Untuk diketahui, proses pengusiran paksa warga SAD dari pemukimannya oleh PT. Asiatic Persada dilakukan dengan dukungan aparat keamanan gabungan TNI, Polri, dan Security PT. Asiatic Persada. Proses pengusiran dan kekerasan masih berlanjut hingga sekarang ini.

Saat ini banyak warga SAD yang memilih menyingkir ke tengah hutan karena ketakutan. Sebagian memilih pergi ke rumah kerabat atau kenalan. Sebagian besar terlunta-lunta tanpa tempat tinggal.

http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131213/warga-suku-anak-dalam-kami-diancam-dibunuh-bila-tidak-tinggalkan-kampung.html


Sebuah pagi pada 11 Desember 2013 sekira jam 10.00. Basron, 41 tahun sedang menyeduh kopi hitam buatannya. Baru hendak menyeruput, tiba-tiba rumahnya terasa bergoyang. Basron bergegas menengok ke luar. Ternyata, rumahnya sudah dikepung puluhan orang. Ada berpakaian preman, karyawan PT Asiatic Persada berkaos hijau-hijau, dan masing-masing dua orang anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta anggota Brigade Mobil (Brimob).

“Ada apa?” tanya Basron. Mereka menjawab, ”Kami dari Tim Terpadu. Segera bereskan barang-barangmu. Semua rumah hari ini akan digusur”. Basron buru-buru mengeluarkan barang-barangnya. Setelah beres. Dalam tempo dua menit, rumah Basron dihancurkan dengan satu unit excavator. Hujan mengguyur deras, Basron hanya termangu menyaksikan rumahnya yang telah hancur.
“Cepat bersihkan puing-puing rumah ini. Jika tak dibersihkan, kami datang lagi besok. Kami bakar semuanya,” kata Basron menirukan ancaman mereka. Ternak kesayangan Basron juga dijarah. Dua ekor burung jalak, dua ekor burung ketitiran, dan seekor ayam kate Australia seharga Rp 600 ribu dibawa pergi. “Mereka benar-benar tak manusiawi,” kata Basron kepada Mongabay Indonesia mengeluh.

Menurut Basron, jumlah “tim terpadu” yang datang diperkirakan 700-an orang. Mereka datang menggunakan puluhan mobil jenis Mitsubishi Strada dan Strada Triton. Sambil membawa satu unit excavator, satu unit grader, dan enam unit sonder.

Basron adalah salah satu dari Suku Anak Dalam (SAD) atau Suku Bathin Sembilan yang lebih dikenal dengan nama Kelompok SAD 113. Rumah Basron berada di Desa Pinang Tinggi, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari. Hari itu, penggusuran dilakukan sejak jam 10.00 pagi sampai 16.30.

Menurut Basron, ada sekitar 109 rumah yang dihancurkan oleh “Tim Terpadu”. Pada 7 dan 8 Desember 2013, ada 31 rumah di Desa Padang Salak yang digusur. Sementara di Terawang sekitar 6 rumah hancur. Total selama tiga hari, sekitar 146 rumah yang sudah digusur. Kabarnya pada 12 dan 13 Desember ini dijadwalkan 600 rumah di Tanah Menang juga hendak digusur habis.

Aksi penggusuran dilakukan secara serentak dengan memecah menjadi beberapa kelompok. Satu kelompok terdiri dari puluhan preman bayaran, sekuriti, dan karyawan PT Asiatic Persada. Setiap orang dipersenjatai kapak, parang, golok, clurit, samurai, dan gancu. Setiap kelompok dikawal masing-masing dua orang anggota TNI dan Brimob yang lengkap bersenjata api.

Leher Meldi, 25 tahun, bahkan sempat dikalungkan clurit. Gara-garanya Meldi ketahuan memotret kejadian penggusuran itu. Telepon genggamnya langsung dihancurkan. Begitu pula beberapa handphone milik warga lain. “Jangan potret tindakan kami ini,” kata Meldi menirukan ucapan mereka. Bahkan beberapa warga dilarang mengangkat telepon genggam ketika berbunyi. Motor-motor milik warga juga jadi amukan mereka. Ada yang dibelah dua bannya.


Nyaris tak ada dokumentasi kejadian penggusuran tersebut. Untungnya Meldi masih sempat memotret kejadian itu menggunakan telepon genggamnya satu lagi. Tampak dalam salah satu foto, seseorang sedang membawa barang jarahan. Di belakangnya karyawan PT Asiatic Persada berkaos hijau-hijau turun dari mobil.

Sebelum digusur, warung milik Simin, 75 tahun juga dijarah. Makanan, minuman, dan rokok diambil sesuka hati tanpa membayar. “Celengan saya berisi duit Rp 600 ribu juga dirampas mereka,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Barang-barang milik tetangga Simin yakni Jasmi, 55 tahun juga disapu bersih. Helm, parang, sepatu, kampak, golong, pisau dapur, dodos, egrek, senapan burung lenyap. “Burung kacer satu ekor, burung jalak dua ekor, butung perkutut tiga ekor, termasuk seekor ayam kampung yang tengah mengeram juga ikut dijarah,” kata Jasmi.

Rumah terakhir yang digusur adalah rumah Daim, 49 tahun. “Celengan saya berisi Rp 6 juta mereka bongkar dan isinya diambil,” kata Daim kepada Mongabay Indonesia sambil menunjukkan celengan yang sudah rusak. “Solar dan minyak, mereka tumpahkan. Genset saja kalau sanggup mereka angkat mungkin mereka ambil juga,” kata Daim.

Kelompok SAD 113 sejak tahun 1986 silam bersengketa lahan dengan PT Asiatic Persada yang selalu berganti-ganti kepemilikan. Pada tahun 2006, perusahaan ini dikuasai PT Wilmar International. Bahkan sudah nyaris berujung pada kesepakatan dengan pola kemitraan.

Mediasi melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Juli 2012 menyatakan semua pihak yang terlibat, termasuk Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI setuju dilakukan pengukuran lahan seluas 3.550 hektare. Namun rekomendasi itu diabaikan PT Asiatic Persada. Kini, persisnya sejak 9 Desember 2013, sekitar 150-an orang dari Kelompok SAD 113 kembali akan melakukan pertemuan dengan BPN RI.

Pada Mei 2013, Pemerintah Provinsi Jambi mengeluarkan surat kepada PT Asiatic Persada untuk mengembalikan lahan tersebut namun juga diacuhkan. Pada 25 Oktober 2013, pemerintah daerah pun menerbitkan surat rekomendasi pembatalan izin atas Hak Guna Usaha karena mengabaikan instruksi Gubernur Jambi, setelah adanya peringatan berkali-kali.

Hingga akhirnya April 2013 dikabarkan PT Asiatic Persada kembali dijual kepada PT Agro Mandiri Semesta (AMS) di bawah kendali Ganda Group. Kelompok bisnis itu dimiliki oleh Ganda Sitorus – masih saudara dekat Martua Sitorus, salah satu pemilik Wilmar International.


Tim Terpadu Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Wilayah Kabupaten Batanghari dibentuk pada 26 April 2013 lewat Keputusan Bupati Batanghari Nomor 404 Tahun 2013. Bupati Batanghari duduk sebagai ketua tim dan Kapolres Batanghari sebagai Wakil Ketua I. Anehnya Lembaga Adat berada pada posisi nomor 40 sebagai anggota tim mendadak menjadi penentu penyelesaian konflik ini.

Sekretaris Lembaga Adat Batanghari Khuswaini mengatakan, konflik itu hanya bisa diselesaikan secara adat. Perusahaan baru saja menyerahkan lahan seluas 2.000 hektare kepada Pemerintah Kabupaten Batanghari. Dalam sepekan ini Lembaga Adat akan memverifikasi siapa saja yang berhak menerima lahan tersebut. Namun Khuswaini tak merinci apa saja indikator verifikasi. Soal tindakan penggusuran, Khuswaini mengaku tak tahu sama sekali. “Kami baru dapat laporan soal itu hari ini. Soal benar-tidaknya saya belum tahu,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Sormin membantah bahwa pihaknya ikut melakukan penggusuran tersebut. “Kalau pada 7 Desember 2013 betul kita melakukan penertiban yang berujung pada aksi balasan pembakaran. Kalau aksi penggusuran di Pinang Tinggi, wah kami tidak tahu itu. Kita juga kaget dapat kabar ini,” katanya kepada Mongabay-Indonesia.

Menurut Sormin, Tim Terpadu itu tujuannya mencari solusi. “Apalagi kalau kami disebut menjarah. Tidak ada itu. Mohon jangan dibilang menjarah. Tindakan penggusuran itu murni dilakukan perusahaan. Kami tidak ikut serta. Sambil menunggu penyelesaian, kami akan meminta perusahaan untuk sementara menghentikan tindakannya,” ujarnya.

Juru bicara Kelompok SAD 113, Idris, mengatakan bahwa pertemuan itu terkesan mendorong mereka pada satu opsi yaitu penyelesaian konflik di Lembaga Adat. “Kami akan ikuti itu tapi soal solusi entah itu kemitraan atau apapun polanya, nanti dulu. Sekarang kami minta ganti rugi rumah-rumah kami yang digusur. Mana tanggung jawab mereka,” katanya kepada Mongabay Indonesia.

Dua anak Basron tengah berada di Jakarta. “Begitu mereka pulang, mereka pasti bingung, rumah kami tak ada lagi. Saya juga bingung bagaimana memberi tahu mereka bahwa ayam kesayangan mereka dijarah,” kata Basron dengan pandangan berkaca-kaca.

http://www.mongabay.co.id/2013/12/13/puluhan-tahun-berlanjut-asiatic-persada-terus-memakan-korban-suku-anak-dalam/

Tujuh Alasan Penggusuran PT. Asiatic Persada Terhadap SAD Dianggap Ilegal
7 Desember 2013, PT. Asiatic Persada (anak perusahaan Wilmar Group asal Malaysia) menggusur paksa ratusan rumah warga Suku Anak Dalam (SAD) di dusun Padang Salak, Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari, Jambi.

Ironisnya, proses penggusuran paksa itu menyertakan sekitar 1500-an pasukan gabungan TNI, Polri, security PT. Asiatic Persada, dan preman bayaran perusahaan. Lebih ironis lagi, proses penggusuran itu disertai pemukulan, penganiayaan, intimidasi, teror, upaya pembacokan terhadap sejumlah warga SAD dan aktivis yang berusaha mempertahankan tanahnya.

Kemudian, pada tanggal 8 Desember 2013, terjadi penangkapan terhadap 3 (orang) warga Suku Anak Dalam. Proses penangkapan terhadap ketiga warga ini disertai dengan tembakan dan kekerasan. Akibatnya, banyak warga yang ketakutan dan mengalami trauma mendalam.

Pasca penggusuran tanggal 7 Desember lalu, proses intimidasi dan teror terhadap warga berlangsung massif. Warga dilarang kembali ke daerah pemukiman (dusun) mereka. Bahkan, beberapa warga yang mencoba kembali diancam akan dibunuh.

Kemudian hari (11/12/2013), 500-an pasukan gabungan TNI, Brimob/Polri, Security PT. Asiatic Persada kembali melakukan penggusuran dan pengusiran paksa terhadap warga SAD yang bermukim di dusun Pinang Tinggi, desa Bungku, kecamatan Bajubang, Batanghari. Para penggusur menghancurkan rumahr-rumah warga, termasuk rumah permanen. Selain itu, para penggusur mengintimidasi warga yang mencoba melawan.

Ibu Hanimah (60 tahun), seorang warga SAD di Pinang Tinggi yang menyaksikan proses penggusuran itu, rumah-rumah warga dibongkar dengan jonder. Beberapa warga yang tidak menyelamatkan barang-barangnya karena dihalang-halangi dan diintimidasi oleh para penggusur. Bahkan, ada beberapa warga yang diancam dibunuh jika berani mendekat ke lokasi penggusuran.

Proses penggusuran yang dilakukan oleh PT. Asiatic Persada, yang didukung oleh aparat keamanan (TNI/Polri), sebetulnya penuh kejanggalan dan ileggal. Berikut beberapa faktanya:

Pertama, para penggusur itu mengaku mendapat perintah dari Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Kabupaten Batanghari. Namun, ketika diminta menunjukkan surat perintah dari pihak dimaksud, para penggusur tidak sanggup memperlihatkannya.

Kedua, penggusuran ini juga sebetulnya sangat melecehkan wibawa dan otoritas pemerintah Republik Indonesia, seperti DPR-RI, Menteri Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), DPD-RI, Komnas HAM, Pemerintah Daerah Jambi, dan Pemerintah Daerah Batanghari. Pasalnya, semua lembaga yang disebutkan di atas sudah menyepakati perihal pengembalian tanah ulayat suku Anak Dalam seluas 3550 ha sesuai peta mikro.

Ketiga, terkait keputusan lembaga di atas, Gubernur Jambi sudah tiga (3) melayangkan Surat Peringatan kepada PT. Asiatic Persada untuk menjalankan kesepakatan dan mengembalikan hak ulayat warga SAD. Tetapi semua Surat Peringatan itu diabaikan oleh PT. Asiatic Persada.

Keempat, Gubernur Jambi sudah mengeluarkan Surat tertanggal 25 Oktober 2013 tentang Rekomendasi Peninjauan Ulang Hak Guna Usaha (HGU) PT. Asiatic Persada. Dan surat itu sudah dalam tahap proses di BPN-RI.

Kelima, tindakan PT. Asiatic Persada dan aparat keamanan jelas melanggar Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor putusan: 55/PUU-VIII/2010 yang melarang penggunaan pasal kriminalisasi terhadap perjuangan petani yang ingin merebut hak-haknya yang dirampas oleh perusahaan perkebunan.

Keenam, tindakan PT. Asiatic Persada melecehkan putusan MK nomor 35/PUU-XII/2012 sudah menegaskan wewenang masyarakat adat terhadap hutan adat. Artinya, terkait konflik antara warga SAD versus PT. Asiatic Persada, wewenang sepenuhnya berada di tangan masyarakat adat SAD. Bukan lagi di tangan Kementerian Kehutanan.

Ketujuh, praktek perampasan lahan milik warga SAD merupakan pelecehan terhadap mandat konstitusi, yakni pasal 33 UUD 1945. Seharusnya, jika mengacu pada pasal 33 UUD 1945, hak penguasaan, pengelolaan, dan penerimaan manfaat dari kekayaan agraria seharusnya diprioritaskan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

http://www.berdikarionline.com/kabar-rakyat/20131211/tujuh-alasan-penggusuran-pt-asiatic-persada-terhadap-sad-dianggap-ilegal.html

Tidak ada komentar