Page Nav

HIDE

Post/Page

Weather Location

News:

latest

Dibanding Morfin Obat Batuk Berdekstro Lebih Mematikan

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sekarang ini memberikan perhatian penuh pada penyalahgunaan Dekstrometorfan (DMP) yang semakin meningkat.

DMP merupakan produk bahan kimia yang terdapat pada obat pereda batuk dan flu, na…



Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) sekarang ini memberikan perhatian penuh pada penyalahgunaan Dekstrometorfan (DMP) yang semakin meningkat.

DMP merupakan produk bahan kimia yang terdapat pada obat pereda batuk dan flu, namun kini penggunaannya disalahgunakan sehingga berdampak negatif bahkan berisiko kematian untuk penggunanya.

"DMP dalam dosis kecil aman digunakan sebagai obat pereda batuk dan flu, namun kini banyak disalahgunakan hingga bisa sampai menyebabkan kematian," ujar Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt., M.Epid, ditulis Rabu (2/10/2013).

Pil dekstrometorfan merupakan obat yang secara kimiawi mirip dengan kodein dan bekerja di otak untuk menekan batuk non opiat sintetik yang bekerja secara sentral dengan jalan meningkatkan ambang rangsang reflek batuk .

"Pil ini secara kimiawi mirip dengan kodein dan morfin namun DMP lebih berbahaya dibandingkan keduanya," ungkapnya.

Menurutnya kodein dan morfin atau narkotika golongan satu masih dapat disembuhkan dengan cara rehabilitasi sedangkan DMP efeknya permanen.

Penyalahgunaan obat ini menyebabkan kematian dan juga reaksi efek simpang lainnya, seperti mual, halusinasi, kerusakan otak, seizure, kehilangan kesadaran, dan aritma jantung.

Besarnya dosis yang digunakan juga berpengaruh pada kesehatan, mengonsumsi DMP dengan dosis 100-200 mg dapat menimbulkan. Efek ringan, 200-400 mg timbul efek euphoria dan halusinasi.

Dan dosis 300-600 mg memberikan efek gangguan persepsi visual, hilangnya koordinasi motorik gerak tubuh. Untuk dosis 500-1500mg memberikan efek disosiatif sedatif.

Disosiatif sedatif yakni perasaan bahwa jiwa dan raga terpisah, hipertemia dengan risiko kejang dan aspirasi.

"Kalau kodein atau morfin bisa disembuhkan lewat rehabilitasi, tetapi efek dari pil dekstro sifatnya permanen, maka itu ini lebih berbahaya," ungkap Retno.

Retno menambahkan berbahaya karena efeknya lebih kepada saraf pusat yang mengganggu kesehatan jiwa. "Pasien langsung berurusan kepada psikiater karena efeknya langsung kegangguan jiwa, dan umumnya banyak digunakan generasi muda itu bahaya," tambah Retno.

 http://health.liputan6.com/read/708598/dibanding-morfin-obat-batuk-berdekstro-lebih-mematikan
Terkait penarikan obat dekstrometorfan (DMP) sediaan tunggal yang dijadwalkan pada 30 Juni 2014, Badan Pengawas Obat dan Makanan RI (BPOM RI) meminta para industri farmasi melaporkan kegiatan produksinya.

"Selama tenggang waktu sampai batas penarikan, para produsen atau industri farmasi yang memiliki nomor izin edar dekstrometorfan tunggal harus memberi laporan kepada Badan POM RI di tanggal 15 tiap bulannya berapa banyak yang diproduksi, dan kemana saja didistribusikan," ucap Direktur Pengawasan NAPZA Badan POM RI, Togi Hutajulu, ditulis Rabu (2/10/2013).

Menurut Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt., M.Epid para produsen segera melakukan sosialisasi kepada konsumen terkait penarikan DMP sediaan tunggal.
"Pada 30 Juni 2014 sudah tidak ada lagi DMP sediaan tunggal yang beredar, kalau pun ada itu sudah termasuk obat ilegal," ujar Retno.

Retno menambahkan produsen atau industri farmasi yang masih memproduksi pil dekstro sediaan tunggal dan mengedarkan di pasaran akan dikenakan sanksi.

"Kami (BPOM) akan memberikan sanksi tegas kepada para industri farmasi yang masih bandel, dengan melibatkan beberapa pihak seperti kepolisian dan BNN," tegasnya.

Tidak ada komentar