Kenapa “Tidak Tahu Hukum” Tidak Membebaskan di Indonesia?
Di Indonesia (dan hampir semua negara), berlaku asas ignorantia legis neminem excusat — secara sederhana: ketidaktahuan terhadap hukum tidak membebaskan seseorang dari tanggung jawab hukum. Karena itu, alasan “saya tidak tahu ada pasal/aturan itu” umumnya tidak bisa dipakai untuk lepas dari sanksi.
Apa Maksud Asas Ini?
Ignorantia legis neminem excusat — ketidaktahuan atas hukum tidak mengecualikan siapa pun.
Begitu suatu peraturan diundangkan dan dipublikasikan melalui media resmi negara, ia dianggap telah “diketahui umum”. Hukum mengikat semua orang, tanpa harus menunggu setiap warga membacanya satu per satu.
Mengapa Alasan “Tidak Tahu” Tidak Diterima?
-
Menjaga kepastian dan efektivitas hukum.
Jika “tidak tahu” dibolehkan, hampir semua pelanggaran bisa berdalih demikian. Hukum jadi tidak pasti dan sulit ditegakkan. -
Asumsi publikasi yang memadai.
Peraturan dianggap telah diumumkan ke publik ketika diundangkan dan dimuat di media resmi (Lembaran/ Berita Negara dan kanal resmi pemerintah). -
Tanggung jawab warga negara.
Setiap orang berkewajiban proaktif mengetahui aturan, apalagi jika berkaitan dengan aktivitasnya (usaha, profesi, lalu lintas, dan seterusnya).
Contoh Kasus Sederhana
- Lalu lintas: Ada larangan jenis lampu tertentu. Walau belum pernah membaca aturannya, pelanggar tetap bisa ditilang.
- Usaha: Ada kewajiban perizinan baru untuk jenis usaha tertentu. Pengusaha yang tetap beroperasi tanpa izin bisa dikenai sanksi administratif/pidana, meskipun “tidak tahu”.
Apakah Benar-Benar Tidak Ada Pengecualian?
Secara prinsip, ya—“tidak tahu hukum” bukan alasan pembenar atau pemaaf. Namun, dalam praktik peradilan, ada hal-hal yang bisa dipertimbangkan hakim untuk meringankan (bukan menghapus) pertanggungjawaban:
-
Kekeliruan fakta (mistake of fact).
Yang keliru adalah faktanya, bukan hukumnya. Misal, seseorang benar-benar menyangka barang yang dibawanya adalah miliknya sendiri karena bukti/keadaan faktual menyesatkan. -
Peraturan belum berlaku atau tidak sah diberlakukan pada saat perbuatan.
Asas legalitas mengharuskan ada aturan yang sudah berlaku ketika perbuatan dilakukan. -
Keadaan memaksa (force majeure) atau ketidaksengajaan yang patut.
Bukan “tidak tahu hukum”, tetapi kondisi objektif yang menghambat kemampuan mematuhi hukum bisa menjadi alasan pemaaf atau meringankan. -
Informasi resmi yang menyesatkan.
Dalam praktik tertentu, bila seseorang bertindak berdasarkan petunjuk resmi yang keliru dari pejabat berwenang, hal ini bisa menjadi bahan pertimbangan keringanan.
Catatan: Hal-hal di atas bukan “jalan keluar otomatis”. Semua bergantung pada pembuktian di pengadilan dan penilaian hakim atas niat (sikap batin), kelalaian, serta keadaan konkret.
Bagaimana Cara Mengetahui Aturan yang Berlaku?
Untuk meminimalkan risiko “tidak tahu”:
- Cek kanal resmi pemerintah (misalnya portal JDIH/produk hukum kementerian/lembaga/pemda).
- Ikuti sosialisasi/regulasi yang relevan dengan bidang kerja atau usahamu.
- Konsultasi dengan penasihat hukum ketika memasuki area yang berisiko (izin usaha, ketenagakerjaan, pajak, perlindungan data, dan lain-lain).
- Dokumentasikan proses kepatuhan (SOP internal, pelatihan karyawan, catatan audit) sebagai bukti good faith.
Bedakan: “Tidak Tahu Hukum” vs “Niat/ Kesalahan”
Dalam banyak delik, unsur kesengajaan atau kelalaian tetap diuji. Jadi, walaupun “tidak tahu hukum” tidak membebaskan, tingkat kesalahan (sengaja, lalai, atau tanpa kesalahan) mempengaruhi putusan—terutama sanksi yang dijatuhkan.
FAQ Singkat
Apakah peraturan baru langsung mengikat?
Ya, sejak diundangkan dan diberlakukan sesuai ketentuannya (ada yang berlaku saat diundangkan, ada yang bertahap/masa transisi).
Bagaimana kalau tidak ada sosialisasi?
Sosialisasi penting, tetapi secara prinsip kewajiban mematuhi hukum timbul dari pengundangan/publikasi resmi, bukan dari sudah atau belumnya sosialisasi.
Kalau petugas memberi informasi keliru?
Itu bisa jadi bahan pertimbangan keringanan, tetapi jarang menghapus pertanggungjawaban sepenuhnya. Simpan bukti komunikasi resmi.
Kesimpulan
Asas “ketidaktahuan tidak membebaskan” menjaga kepastian dan efektivitas hukum. Tugas kita adalah proaktif mencari tahu aturan yang relevan. Dalam kasus tertentu, faktor-faktor seperti kekeliruan fakta, keadaan memaksa, atau informasi resmi yang menyesatkan bisa memengaruhi penilaian hakim—terutama pada aspek sanksi—namun bukan alasan pembebasan otomatis.
Disclaimer: Artikel ini bersifat informasi umum, bukan nasihat hukum. Untuk kasus spesifik, konsultasikan dengan penasihat hukum.