Kebijakan Ekspor Kakao Indonesia 2025: Pungutan BK dan PE

Table of Contents

Pemerintah Indonesia resmi memberlakukan tarif baru dua jenis pungutan atas ekspor biji kakao mulai Oktober 2025, yakni Bea Keluar (BK) dan Pungutan Ekspor (PE) atau Dana Perkebunan.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 68 Tahun 2025 dan PMK No. 69 Tahun 2025, yang menggantikan struktur pungutan lama dengan sistem baru yang lebih seimbang antara penerimaan negara dan pengembangan industri kakao nasional.

Agar tidak gagal paham silahkan baca sampai habis.


Berikut ini 2 jenis pungutan yang berlaku untuk ekspor kakao terbaru 2025 :

🧾 1. Bea Keluar (BK): Pajak Ekspor ke Kas Negara

BK merupakan pungutan ekspor resmi yang disetorkan langsung ke kas negara melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).
Tujuan utamanya adalah mengatur volume ekspor bahan mentah dan menjaga pasokan dalam negeri agar industri pengolahan kakao nasional tetap mendapatkan bahan baku yang cukup.

Struktur Tarif BK (PMK 68/2025)

Tarif BK ditetapkan progresif berdasarkan harga referensi internasional kakao:

Harga Referensi (USD/ton) Tarif BK
≤ 2.000 0 %
> 2.000 – 2.750 2,5 %
> 2.750 – 3.500 5 %
> 3.500 7,5 %

Sebelumnya, tarif tertinggi BK mencapai 15 %, namun kini diturunkan menjadi maksimum 7,5 % agar sejalan dengan kebijakan pungutan baru.


💰 2. Pungutan Ekspor (PE): Dana Perkebunan untuk Hilirisasi

PE adalah pungutan tambahan yang dikelola oleh Badan Layanan Umum (BLU) Badan Pengelola Dana Perkebunan, sebagaimana diatur dalam PMK 69/2025.
Berbeda dari BK, dana hasil PE tidak masuk langsung ke APBN, melainkan digunakan untuk pengembangan industri hilir kakao, penelitian, replanting (peremajaan tanaman), dan pemberdayaan petani.

Struktur Tarif PE (PMK 69/2025)

Tarifnya juga progresif mengikuti harga referensi internasional:

Harga Referensi (USD/ton) Tarif PE
≤ 2.000 0 %
> 2.000 – 2.750 2,5 %
> 2.750 – 3.500 5 %
> 3.500 7,5 %

Perhitungan PE dilakukan dengan rumus:

PE = Tarif × Harga Ekspor × Volume × Nilai Kurs


⚙️ 3. Mengapa Tarif BK dan PE Sama?

Pemerintah memang menyamakan struktur tarif BK dan PE agar total beban ekspor tidak berubah dari sistem lama.
Sebelumnya, eksportir hanya membayar BK hingga 15 %; kini mereka membayar dua komponen berbeda dengan total maksimum 7,5 % + 7,5 % = 15 %.

Tujuan Penyesuaian:

  • Netral secara fiskal: total pungutan tidak meningkat.

  • Lebih transparan: pemisahan antara penerimaan negara dan dana pengembangan sektor.

  • Dorongan hilirisasi: sebagian pungutan dialihkan untuk mendukung industri olahan cokelat domestik.


📊 4. Dampak bagi Eksportir Kakao

  • Beban tarif ekspor tidak bertambah, tetapi sumber penerimaan kini terbagi dua:

    • BK untuk kas negara

    • PE untuk pengembangan industri kakao.

  • Total pungutan bergantung pada harga referensi kakao dunia. Bila harga turun di bawah US$ 2.000/ton, eksportir bisa bebas pungutan (0%).

  • Kondisi harga tinggi (> US$ 3.500/ton) akan memicu tarif maksimum 7,5% + 7,5% = 15%.


🧠 5. Kesimpulan

Aspek Sebelum 2025 Setelah PMK 68 & 69/2025
Jenis pungutan Hanya BK BK + PE
Tarif maksimum BK 15 % 7,5 %
Tarif maksimum PE 7,5 %
Total beban maksimum 15 % 15 % (7,5 % + 7,5 %)
Tujuan dana APBN APBN + Dana Perkebunan
Tujuan kebijakan Fiskal umum Hilirisasi & pengembangan kakao

📚 Sumber Resmi


kebijakan-ekspor-kakao-indonesia-2025

🤝 Tanggapan Pribadi

Bea Keluar memang diturunkan tapi ada pungutan ekspor, jadi final nya tetap di 15%.

Jika melihat harga global vs harga di indonesia sangat jomplang sekali, minus hampir 40%, ini karena apa? saya cari info juga belum ketemu. Disini seharusnya pemerintah ikut andil menentukan harga basis lokal minimal minus sekian persen dari basis global.

Dulu indonesia pernah menjadi harga basis global dan ada harga ketetapan nasional, sekarang tidak ada mungkin karena produksi kakao petani indonesia yang menurun dibanding pada saat itu.
Penurunan produksi menurut saya karena minat petani untuk menanam kakao sudah lemah karena harga yang rendah ditambah lagi pemerintah dan exportir telat mengambil langkah penyelamatan pertanian kakao saat banyak sekali penyakit menyerang.  Dengan pengalaman ini harusnya exportir dan pemerintah belajar dari masalalu. "tanpa petani" exportirpun akan kehilangan cuannya, begitu juga pemerintah akan kehilangan kesejahteraan rakyatnya.
Saat ini gairah pertanian kakao sedang tumbuh harusnya pemerintah menahan diri dulu untuk melakukan pungutan dan harusnya di support dengan edukasi dan kebijakan yang memajukan petani.
Kalau menurut saya pribadi sebaiknya stop dulu pungutan-pungutan dengan alasan apapun sebab dampaknya akan mengurangi pendapatan petani, walau dengan alasan sebagai modal pengembangan ataupun hilirisasi oleh pemerintah tapi itu belum pernah terbukti, selama ini saya sebagai petani merasa berpikir sendiri tidak ada bantuan dari pemerintah, hanya pupuk subsidi yang sejatinya tidak sesuai dengan pungutannya, jadi lebih baik jalan sendiri-sendiri.

Saya pribadi juga sebagai rakyat masih belum bisa percaya dengan pengembangan yang dilakukan pemerintah sebab selama ini hanya ceremonials dan formalitas saja.
Pendapatan negara sejatinya itu bukan dilihat dari besarnya angka di laporan tahunan, tapi dari kesejahteraan rakyatnya.
Logika yang "sia-sia", "kenapa kita harus memberi dengan tangan kiri tapi memungut lagi dengan tangan kanan?".

Jika mau riset atas nama "kemajuan petani" ya risetlah dengan modal yang ada, bisa dari pajak ppn atau pph. sudahi pungutan/pajak yang berimbas pada kesejahteraan petani.


Posting Komentar