Page Nav

HIDE

Post/Page

Weather Location

News:

latest

Penonton Alay di Acara TV "DAHSYAT" Ternyata Bayaran

Ini Dia Anak Alay yang Ada di Dahsyat, berikut ini fakta-fakta nya :

1. Anak alay ada yang kordinir.
TEMPO.CO, Jakarta - Tim sorak yang setiap hari mangkal di acara musik Dahsyat, RCTI ternyata memiliki struktur koordinasi yang…

Ini Dia Anak Alay yang Ada di Dahsyat, berikut ini fakta-fakta nya :

1. Anak alay ada yang kordinir.
TEMPO.CO, Jakarta - Tim sorak yang setiap hari mangkal di acara musik Dahsyat, RCTI ternyata memiliki struktur koordinasi yang rapi. Para remaja yang berusia belasan hingga dua puluhan awal itu dikoordinasi oleh seorang wanita yang disebut ‘mami’.

Mami ini berfungsi sebagai koordinator lapangan alias korlap. Sejumlah 60 anak alay setiap hari pada pukul enam pagi berkumpul di depan studio Dahsyat, RCTI. Sebelum masuk studio, anak alay di briefing dulu oleh sang korlap tentang penampilan dan ke-alay-an yang harus mereka lakukan selama acara berlangsung.

“Kalau briefeing ada yang nggak rame kita kasih tahu. Cara pakaian yang rapi dan harus pakai sepatu. Mereka harus dandan juga, kan masuk tivi” kata Rini Pillar, salah satu korlap anak alay kepada Tempo pada 29 Mei 2013.

Pillar, begitu sapaan akrabnya, bersama tiga orang korlap lainnya yakni Sofi dan Ony serta Atun, membawahi anak alay untuk bekerja menjadi tim sorak di Dahsyat. Para korlap ini bertugas mengumpulkan massa anak alay dari berbagai daerah. Mereka berdatangan dari lokasi sekitar jakarta, Tangerang, Bogor dan Bandung serta luar jawa seperti Medan dan Padang.

Ketiga korlap itu memiliki satu bos, yakni Harsono Wahyudi. Harsono bertindak sebagai penyalur anak alay ke stasiun televisi. “Kita memang menyewa Harsono untuk ngumpulin penonton” kata Opa Yahya, produser acara Dahsyat. Menurut keterangan Harsono yang menaungi usaha jasa Kapur Barus Agency, dirinya di sewa oleh tim Dahsyat semenjak awal disiarkan pada tahun 2008.

“Saya sudah lima tahun kerja di Dahsyat” kata Harsono Wahyudi. Jauh sebelum berkarir sebagai bos anak alay, lelaki asal cirebon ini dulunya adalah kru acara komedi Patrio. Merasa banyak belajar tentang manajemen acara televisi, ia akhirnya keluar dari pabrik tempatnya bekerja untuk merintis usaha setor tim sorak alay ke berbagai acara televisi.

sumber:http://www.tempo.co/read/news/2013/06/09/219486797/Ini-Dia-Anak-Alay-yang-Ada-di-Dahsyat
2. Ternyata mereka ada kelas2nya juga...

Anak Alay pun Juga Punya Kelas

TEMPO.CO, Jakarta - Penonton televisi pastinya sudah tidak asing dengan pemandangan anak-anak yang bertingkah heboh atau menyerukan yel-yel di acara-acara musik ataupun talkshow, yang biasa disebut anak alay. Ternyata, para penonton ini juga memiliki klasifikasi yang berbeda-beda di setiap penampilannya.

Menurut Eni, salah seorang penonton bayaran, perbedaan kelas menjadi salah satu hal yang tidak menyenangkan dalam pekerja penonton bayaran. “Enggak enaknya ada kelasnya, ada kelas A, itu untuk baris satu dua, sisanya kelas biasa,” kata penonton bayaran yang sering muncul di acara Ranking Satu ini.

Kelas A atau yang biasa disebut dengan kolongan cantik ini biasanya melalui casting dan juga harus memenuhi beberapa persyaratan khusus dari para koordinator di lapangan. “Bedanya kolingan cantik itu tingginya sekitar 165-an (cm) lebih, cantiknya nggak tau deh liatnya darimana, kalo mereka mungkin bisa dandan ya dan style bisa bagus,” katanya menjelaskan.

Selain itu warna kulit juga menjadi satu keharusan penilaian bagi kolingan cantik. “Harus putih, itu pertama ya. Orang cantik enggak putih juga kurang. Pokonya cantik tinggi putih. Kalo nggak ya stak,” tambahnya lagi. Perbedaan ini tentu bukan hanya perbedaan letak duduk, tapi juga besar dan kecilnya pemasukan.

“Bayarannya beda. Dua kali lipat dari kita (yang biasa),” katanya lagi. Hitungan kasarnya, jika seorang penonton bayaran kelas biasa mendapat bayaran Rp 50 ribu, maka untuk kolingan cantik bisa mendapatkan Rp 100 ribu per acara.

Meski berbeda penghasilan, Eni mengaku tetap senang dengan pekerjaannya yang sekarang ini. “Kita kerja kadang agak-agak mengalah, aku sih nikmatin jadi banyak enaknya,” katanya. Selama ini, saat berada di kelas biasa, Eni harus puas hanya bisa tampil dari baris belakang para penonton bayaran di televisi.

Saat baru-baru menjadi penonton bayaran, Eni pernah salah pilih tempat duduk. Seharusnya, tempat tersebut untuk mereka yang kelas A atau kolingan cantik. Eni mengaku sempat tersinggung ketika diusir. Tapi dia akhirnya mengerti pekerjaan tersebut memang ada kelasnya.

“Pernah enggak tau, gue main duduk aja, di paling depan, terus diamarahin. Tapi ke sini sini udah baik. Ya harus professional juga kitanya,” kata perempuan yang sekarang berada di bawah manajemen Elly Suhari ini.
sumber : http://www.tempo.co/read/news/2013/06/09/219486800/Anak-Alay-pun-Juga-Punya-Kelas

Kata mereka, bayarannya Lumayan

Tarif Jasa Anak Alay

TEMPO.CO , Jakarta: Sudah menjadi rahasia umum anak alay yang sering muncul di sebuah acara televisi adalah penonton bayaran. Hampir semua anak alay, dari korlap hingga sang bos penyalur anak alay, menjadikan pekerjaan itu sebagai mata pencaharian utama. Beberapa dari mereka rela merantau dari luar pulau hanya untuk bekerja sebagai anak alay.

Lantas, berapa sebenarnya tarif menyewa jasa mereka? “Kalau ngisi di acara hitungannya per episode, biasanya Rp 35 ribu dikali berapa penonton. Jumlah itu di potong untuk agensi dan jatuh ke anak buah sekitar Rp 30 ribu. Itu yang tanpa melalui korlap, kalau melalui korlap jatuhnya Rp 27 ribu,” kata Harsono Wahyudi, pemilik Kapur Barus Agensi penyalur anak alay ke berbagai stasiun televisi kala ditemui di studi 6 RCTI, Kamis, 30 Mei 2013.

Untuk mendapatkan jatah mengisi acara televisi, nyatanya Harsono perlu bernegosiasi dengan produser acara yang bersangkutan. Tawar-menawar terjadi tentang berapa bayaran, jenis acaranya siaran langsung atau tapping serta dipekerjakan untuk berapa episode. Setelah harga cocok, Harsono akan setor anak buah.

Harsono memiliki anak buah langsung yang siap bekerja sebagai anak alay. Jika permintan banyak ia bisa meminta jatah anak alay dari koordinator lapangan. Koordinator lapangan ini bertugas mengumpulkan anak alay dari berbagai daerah. Tentunya, ada kriteria khusus untuk menjadi anak alay, yakni harus berpenampilan menarik dan mau bertingkah anah serta ramai. Sebelum syuting, anak-anak alay diberikan pengarahan terlebih dahulu. Tidak hanya soal sikap dan tata laku yang mesti mereka tampilkan, tapi juga penampilan.

Tidak hanya di acara televisi, ternyata jasa mereka juga digunakan untuk meramaiakan acara sebuah partai. “Mas Eko-- Eko Patrio-- terakhir kemarin minta diisetor sehari 1.000 di acara buat menghadiri acara partainya mas Eko. Itu pas bulan puasa tahun lalu. Seribu orang itu selama tiga hari,” kata Harsono.

Pekerjaan setor anak alay di luar acara televisi lebih menguntungkan lantaran bayaran cash dan dapat jatah makan. Untuk di stasiun televisi, tidak semua menyediakan makan bagi mereka. Uang yang diterima cukup untuk pengganti transportasi dan makan. Namun jika seorang anak alay mendapat pekerjaan di beberapa acara dalam sehari, mereka bisa mengumpulkan uang Rp 100 ribu.

Harsono pernah menerima tawaran setor massa ke sebuah acara launching album seorang penyanyi. Pekerjaan Harsono sehari-hari diakui pria asal Cirebon itu membutuhkan totalitas. Sebelum terjun ke profesi penyetor anak alay, Harsono terlibat kru di acara televisi Ngelaba. Sejak itu ia belajar banyak tentang seluk beluk acara televisi.
sumber :  http://www.tempo.co/read/news/2013/06/09/113486784/Tarif-Jasa-Anak-Alay

Bahkan ada Pekerja kantoran yang resign demi jadi alay

Perempuan Ini Berhenti Kerja Demi Jadi Alay

TEMPO.CO, Jakarta - Eni, sebelum memutuskan menjadi penonton bayaran merupakan pekerja kantoran. Dia bekerja di bagian marketing untuk perusahaan entertainment. Meski penghasilannya tidak berbeda jauh saat bekerja kantoran, tapi Eni mengaku dari menjadi penonton bayaran justru dia bisa menabung.

Eni tak perduli jika profesinya sekarang dibilang sebagai anak alay. "Dulu waktu kerja kantoran, saya enggak bisa menabung. Tapi sekarang setiap bulan paling enggak saya menabung Rp 500 ribu setiap bulan, bersih," kata Eni di Cibubur, Jakarta Timur, Kamis 6 Juni 2013.

Ketika bekerja kantoran, Eni mendapatkan gaji Rp 3 juta setiap bulannya. Dia pun menuturkan kebutuhan yang diambil setiap bulan dari gajinya. Setiap bulan, dia menyisihkan Rp 1 juta untuk ibunya, sisanya dia pakai untuk keperluan sehari-hari. "Tapi saya heran, gaji saya cuma cukup sampai seminggu," kata Eni.

Sekarang, meski berpenghasilan tidak tetap per bulannya, dia bisa menyisihkan uang untuk ditabung. "Saya tadinya enggak mau pegang ATM, karena pengen ambil duit mulu. Sekarang jadi makin rajin nabung lebih irit dan lebih menghargai uang,” katanya.

Untuk pergi 'bekerja' menjadi penonton bayaran, Eni mengaku hanya mengantongi uang Rp 10 ribu untuk naik angkot. "Kembalian angkot saja, seribu atau dua ribu, merasa sangat berharga. Sekarang saya juga lebih menghargai pekerjaan," katanya.

Selain menjadi penonton bayaran, Eni juga kadang diminta untuk menjadi figuran sinetron. Dia langsung menerima honor, begitu pekerjaan yang dilakoninya selesai.

Saat ini ia masih menikmati kehidupan sebagai seorang penonton bayaran. Ia mengaku juga nyaman dengan lingkungannya, apalagi setiap hari memungkinkan bertemu dengan orang-orang baru. Saat ini, Eni beluk kepikiran untuk mengganti profesinya, meski dia sadar tak selamanya bisa menjadi penonton bayaran.
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/09/219486798/Perempuan-Ini-Berhenti-Kerja-Demi-Jadi-Alay

Tidak ada komentar