Page Nav

HIDE

Post/Page

Weather Location

News:

latest

SIM Card Naik Jadi Rp 100 Ribu, Ini Kata Operator

Usulan menaikkan harga SIM card untuk kartu perdana ponsel menjadi Rp 100 ribu disambut dingin oleh operator meskipun tak dipungkiri ada puluhan juta nomor yang hangus (churn rate) setiap tahunnya dan menyebabkan kerugian hingga …

Usulan menaikkan harga SIM card untuk kartu perdana ponsel menjadi Rp 100 ribu disambut dingin oleh operator meskipun tak dipungkiri ada puluhan juta nomor yang hangus (churn rate) setiap tahunnya dan menyebabkan kerugian hingga triliunan rupiah.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang juga Direktur Utama Telkomsel, Alex Janangkih Sinaga, kebijakan ini bisa membuat industri telekomunikasi langsung kolaps jika dipaksakan.

"Kebijakan ini kurang bijak untuk diimplementasikan, bisa mendistorsi industri. Tidak semua kebijakan bisa dijalankan, harus dihitung dulu baik-buruknya. Kebijakan semacam ini harus bertahap dan perlu sosialisasi," ujarnya saat ditemui detikINET belum lama ini.

Menurutnya, pemerintah dan industri juga harus mempertimbangkan karakter masyarakat Indonesia dalam berlangganan telekomunikasi. Sebab, tidak semua orang mampu beli SIM Card mahal.

Selain itu, lanjut Alex, jika kebijakan ini bermaksud untuk memperketat registrasi prabayar, langkah ini kurang cocok diterapkan di Indonesia. Pasalnya, pengguna prabayar jauh mendominasi pascabayar.

"Di Telkomsel saja cuma 2,5 juta yang berlangganan postpaid Kartu Halo, itu yang benar-benar terdata dengan baik. Sisanya, 98% dari 125 juta pelanggan menggunakan prepaid," katanya.

Lebih lanjut dikatakan, SIM card murah telah menjadi alat kompetisi operator untuk bersaing memperebutkan pelanggan baru. Kata dia, untuk mendapatkan satu pelanggan saja, Telkomsel harus menjual delapan kartu perdana terlebih dulu.

"Dengan net addition 17 juta pelanggan tahun lalu, bisa dihitung berapa kartu perdana Telkomsel yang kita sebar setiap tahunnya untuk dapat pelanggan baru," tukasnya.

Kerugian

Presiden Director & CEO XL Axiata Hasnul Suhaimi mengatakan, Indonesia memiliki tingkat churn rate lumayan tinggi setiap bulan yakni di angka 20%. Padahal, di luar negeri churn rate tertinggi hanya 18% setiap tahun.

"Ada 50 juta SIM Card terbuang percuma setiap tahunnya. Itu artinya kita buang duit sekitar Rp 3 triliun setiap tahun atau Rp 250 miliar per bulan. Ini kerugian karena buang-buang energi demi kompetisi yang tak sehat," jelasnya.

Menurutnya, kondisi ini juga tak menggembirakan para distributor karena terus dibebani oleh operator dengan target mencari pelanggan aktif. "Tak ada yang gembira dengan kondisi sekarang, bahkan produsen SIM Card sekalipun karena dipaksa memberikan harga murah," katanya.

Kartu perdana telepon seluler seperti SIM card, Micro SIM card, atau Nano SIM Card yang biasa ditemui di pasaran dengan harga terendah Rp 2.000--bahkan ada yang gratis, tak lama lagi bakal melambung jadi Rp 100 ribu.

Wacana untuk mengatrol harga kartu perdana ini sedang digodok oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) demi menekan tingkat churn rate alias nomor hangus tak jadi pelanggan aktif.

Tercatat, setiap bulannya ada 20% nomor telepon yang churn rate di industri. Tren ini sejatinya telah berlangsung lama sejak fenomena calling card seiring penawaran operator yang menggoda untuk berpindah layanan setiap ada program promo terbaru.

Selain itu, harga SIM card mau dibikin kembali mahal seperti di era 2000-an awal karena BRTI ingin menekan trafik sambungan langsung internasional (SLI) yang dinilai ilegal melalui akses voice over internet protocol (VoIP).

Berdasarkan catatan maraknya trafik SLI ilegal menyebabkan munculnya potensi pendapatan industri telekomunikasi Rp 770,8 miliar hilang dan potensi pemasukan Rp 206,19 miliar tak diterima negara.

Praktik memanipulasi trafik terminasi biasanya dilakukan dengan mengubah panggilan dari luar negeri yang berasal dari VoiP dengan membuatnya seolah-olah panggilan lokal ke sesama pelanggan dari satu operator.

Alat yang digunakan adalah Sim Box yang dijual di Singapura sekitar Rp 7,5 juta. Beberapa tahun lalu pernah terungkap satu mesin diisi 30 nomer fixed wireless access (FWA) untuk mengubah percakapan seolah-olah panggilan lokal.

Masih Wacana

Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S Dewa Broto, usulan BRTI untuk menaikkan harga SIM Card ini ada di dalam draf revisi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi No. 23 tahun 2005.

"RPM ini belum diuji publik dan masih dalam tahap proses. Belum tahu kapan dilaksanakan karena masih dikaji di internal Kominfo. Kalau surat dari BRTI sudah dikirimkan cukup lama," ungkapnya saat dikonfirmasi detikINET, Selasa (3/7/2013).

Yang menjadi alasan harga SIM card naik jadi Rp 100 ribu tak lain karena selama ini harga kartu perdana dijual terlalu murah. "Sehingga kadang orang ada yang mudah saling ganggu dan habis itu dibuang. Akibatnya, penomoran yang harusnya sumber daya terbatas jadi boros di operator," jelasnya lebih lanjut.

Selain itu, harga kartu perdana yang murah diiringi bonus jor-joran dari operator, membuat SIM card sering kali dijadikan alat untuk promosi dan cenderung mengarah spamming. Misalnya, SMS tentang penawaran kredit tanpa agunan (KTA) yang sering tak diinginkan di inbox ponsel pelanggan.

Gatot mengakui bahwa kebijakan ini sangat sensitif. Itu sebabnya, pemerintah harus berhati-hati dengan kenaikan angka tersebut dan harus mempertimbangkan nilai keekonomiannya--meskipun dalam draft aturan ini, BRTI dalam fungsi pengawasan dan pengendalian juga dapat menetapkan harga minimal yang lebih tinggi mempertimbangkan situasi yang berkembang.

"Pasal 6 draft revisi RPM tersebut menyebutkan kartu perdana wajib dijual dengan harga minimal Rp 100 ribu. Ini belum termasuk nilai deposit prabayarnya," jelasnya.

Selanjutnya, setiap penyelenggara telekomunikasi juga dilarang menjual lebih dari lima kartu perdana untuk satu calon pengguna. Nomor yang tidak aktif selama dua bulan terus-menerus wajib segera di nonaktifkan dan didaur-ulang.

Ketentuan lain dalam draft aturan tersebut adalah nomor daur ulang yang akan dijual kembali wajib dicatat history-nya dan dipastikan tidak ada kewajiban yang beralih kepada pengguna berikutnya.

"Langkah semacam itu bisa saja diterapkan karena alokasi nomor yang diberikan pemerintah kepada operator justru tidak digunakan secara efisien. Pengetatan registrasi juga diharapkan dapat menekan penyalahgunaan jasa telekomunikasi," pungkasnya.

Tidak ada komentar